Haloo..ini karya tulisku
Nama : Arini Hidya Meirianti
Judul : Menghitung Hari (Sebuah Perjuangan Untuk Bertahan Hidup)
Menghitung Hari
(Sebuah Perjuangan Untuk Bertahan Hidup)
“Ketika kamu melihat seseorang yang telah diberikan kekayaan dan keindahan melebihi kamu, lihatlah orang-orang yang masih mampu bersyukur meski dalam kekurangan.” (HR.Muslim)
Namaku Putri Biru Alatas, nama ini diberikan oleh ayahku sebagai arti dari wanita pejuang yang hebat, selalu berusaha setinggi langit, dan periang seperti cerahnya warna biru. Aku terlahir dari keluarga sederhana, Ibuku hanya seorang pedagang dikantin sekolah, sedangkan ayahku sudah tiada semenjak aku berumur 14 tahun. Aku tinggal disebuah desa yang padat penduduk, yaitu Desa Cipatat. Saat ini, aku berumur 16 tahun dan duduk dibangku kelas 2 SMA di sekolah SMA Negeri 1 Cipatat, mengambil program IPS.
Di sekolah aku adalah seorang periang, teman-temanku biasa memanggilku dengan julukan si Biru periang. Tetapi ketika teman-temanku tahu bahwa aku terlahir dari keluarga kurang mampu, mereka semua membullyku. Aku sempat terpuruk. Tetapi aku sadar, jangan pernah menyerah untuk membutikan kepada mereka bahwa orang-orang kecil seperti aku-pun bisa menjadi tinggi dengan usaha dan do’a.
“Cantik, tapi ternyata orang miskin! Haha.” Begitulah teman-teman mengejekku.
“Ibunya hanya seorang pedagang kantin disekolah kita, ayah nya? Sudah tiada, kasihan sekali, Haha!” mereka terus saja mengucapkan perkataan yang menyakiti perasaanku.
Tetapi, Allah memang adil. Dia mengirimkanku teman yang bisa menerima diriku apa adanya, dia adalah Citra. Gadis baik hati itu membela-ku.
“Kalian tidak boleh seperti itu padanya, apalagi dia anak yatim dosa-lah kalian!” begitulah pembelaannya pada ku.
Seiring berjalannya waktu, aku berusaha untuk terus belajar hingga aku berhasil menjadi salah satu siswi berprestasi dikelas juga disekolahku. Aku selalu mendapatkan juara umum ketika pembagian nilai raport tiba. Aku pandai dalam pelajaran Matematika dan PKN, saat itu juga aku di daftarkan untuk mengikuti olimpiade Matematika antar sekolah di Kabupaten Bandung Barat, aku juga mengikuti sosialisasi Forum Pelajar Sadar Hukum antar sekolah. Selain itu, aku juga seorang atlet Volly disekolah.
Bayangkan, begitu sibuknya aku sebagai siswi disekolah. Awalnya, aku sering diejek teman-teman karena tidak mampu, tapi setelah mereka mengetahui prestasiku itu, langsung mereka meminta maaf padaku dan berteman denganku. Ini bukan kisahku yang menggeluti prestasiku, tapi ini adalah kisah perjuanganku untuk bertahan hidup dengan penyakit yang aku derita.
Ketika itu, awal aku memulai untuk kemajuan prestasiku ,pulang sekolah selalu sore diantara pukul 17.00 -18.00 WIB. Jelas waktu istirahatku sebentar, belum lagi mengerjakan tugas-tugas pelajaran. Tapi aku mencoba membagi waktu istirahat dengan kesibukanku.
Pada suatu hari, setelah upacara bendera, aku merasa pusing, kepalaku sakit dan ingin pingsan.
“Biru, kamu kenapa?” tanya Citra temanku
“Kepalaku sakit, aku tidak tahan…,” jawabku
Disaat itu juga aku jatuh pingsan. Citra temanku sangat panik dan langsung teriak memanggil PMR. Dibawanya aku ke UKS sekolah. Tidak sadarku itu sangat lama, teman-temanku sangat cemas. Lima belas menit kemudian aku terbangun, terasa berat sekali kepalaku. Melihat sekeliling pun terasa kabur mataku, tapi setelah beberapa saat pusing dikepalaku hilang, dan aku melihat Citra yang sudah menungguku dari tadi.
“Biru , kamu sudah sadar?” tanyanya
Aku hanya bisa mengangguk saja waktu itu. Lalu citra membawa air minum untukku.
“Ini, kamu harus minum dulu yang banyak,” ucapnya
Aku-pun meminumnya dengan dibantu Citra untuk bangun, karena tubuhku masih sangat lemas.
“Kamu ini kenapa? Sakit?” tanya nya
“Aku juga tidak tahu, tiba-tiba saja kepalaku terasa berat dan pusing,” jawabku
“Kamu harus berobat,” usulnya
“Tidak usah, mungkin ini hanya kelelahan saja,” jawabku
“Aku takut kamu kenapa-kenapa Biru. Tadi aku cemas sekali dengan keadaanmu.” Citra dengan memelukku
“Aku tidak apa-apa, terimakasih sudah membantuku dan selalu ada disampingku. Kau memang sahabatku,” ucapku padanya.
Aku dan Citra pun kembali kekelas dan belajar. Disela-sela pelajaran berlangsung, Citra memperhatikanku dan dia berkata, “Biru, hidungmu mengeluarkan darah.”
Aku langsung mengambil handphone ku dan bercermin. Ternyata benar, hidungku berdarah sangat banyak sampai menodai kerudungku. Disaat itu juga guru dan teman-temanku panik.
“Biru, ini ada tisu kamu bersihkan dulu hidungmu,” ucap Andika dengan memberikan tisu nya.
Aku pun langsung mengambil tisu itu dan pergi kekamar mandi. Seperti biasa, aku selalu ditemani citra, dia menungguku didepan toilet. Aku membersihkan hidungku, tapi entah kenapa kepalaku semakin pusing dan darah di hidungku semakin banyak. Badanku terasa sakit, aku pun berteriak memanggil Citra.
“Citra… Tolong aku,” teriakanku didalam kamar mandi
Citra pun langsung masuk.
“Kenapa Biru? Kamu pusing lagi? Muka kamu pucat, darah dihidung mu semakin banyak. Tunggu aku akan cari bantuan, kamu jongkok dulu yah.” Citra pergi keluar toilet dan meminta tolong.
Tolong… Tolong… Tolong…
Teriak Citra, untung nya ada dua orang siswa laki-laki yang mendengarnya. Lalu mereka membantu menggendongku ke UKS. PMR yang bertugas pun sibuk menanganiku. Tiba-tiba dadaku sesak, nafasku sangat pendek, aku pun di beri oksigen dan di infus.
“Biru, kamu kenapa? Aku khawatir sekali dengan keadaanmu.” Kecemasan Citra semakin menjadi-jadi.
Sebenarnya, aku merasakan sakit seperti ini dari dulu, hanya saja aku tidak pernah menceritakan kepada Citra bahkan Ibuku. Karena aku takut mereka khawatir, dan aku tidak tahu mengalami penyakit apa. Tapi makin kesini sakit itu menjadi-jadi sampai saat ini aku benar-benar terpuruk.
Setelah satu jam menunggu keadaanku, tapi ternyata aku masih saja lemas. Akhirnya pihak sekolah menyusul Ibuku di kantin untuk meminta izin membawa ku kerumah sakit. Disaat ibuku mendengar aku seperti ini, dia sedih dan kaget. Itu sebabnya aku tidak pernah cerita.
Beberapa menit kemudian, aku-pun di bawa ke Puskesmas terdekat. Diperiksanya aku oleh sang Dokter. Saat itu aku tidak sadarkan diri, dokter pun memastikan penyakit yang aku derita dan memberitahukan kepada Ibu, guru dan temanku disana.
“Ibu, anak ibu mengalami Leukimia. Dan ini sudah lama sekali dideritanya, mengapa ibu tidak membawanya ke puskesmas saat dia merasakan gejala-gejalanya?” ucap sang Dokter kepada Ibu
Ibu pun terkejut dan sedih.
“Apa Dok… Leukimia? Anak saya belum pernah menceritakan penyakitnya ini, ia selalu terlihat periang dirumah maupun disekolah dok,” jawab Ibuku
“Iya Dok, Biru itu selalu ceria dan aktif.” Sambung Citra.
Disaat itu juga mereka benar-benar terkejut, karena seorang periang sepertiku harus menghadapi penyakit berat ini. Aku pun harus dirawat, karena penyakitku ini sudah diujung tanduk. Aku berusaha kuat dan terus berjuang untuk bertahan hidup. Aku tidak ingin mengecewakan pihak sekolahku, yang sudah mempercayaiku sebagai siswi paling berprestasi di sekolah. Tetapi mau bagaimana lagi? Penyakit leukimia yang aku derita ini sudah membuatku harus mundur dan berhenti dari dunia yang selama ini sudah membesarkan namaku. Tapi aku tidak akan menyalahi takdir tuhsn untuk itu.
Beberapa menit kemudian, akupun sadar. Dan dokter memperbolehkan Ibu dan Citra masuk untuk melihat kondisiku.
“Nak, kenapa kamu tidak pernah menceritakan gejala yang kamu alami. Ibu tidak mau kehilangan kamu, setelah ibu kehilangan ayah, hanya kamulah satu-satu nya belahan jiwa ibu.” Ibuku berkata dengan meneteskan air matanya.
Bibirku sangat kaku sekali, aku hanya menjawab ucapan ibu dengan tangisan dan senyuman kecil. Aku sangat terputuk sekali.
“Ibu, yang sabar yah. Ibu harus yakin, Biru itu anak yang kuat Bu, aku sering kok melihat Biru selalu tersenyum walaupun dia punya banyak masalah. Aku yakin Biru bisa mengahadapi semua ini, Ibu bantu mendo’akan saja,” ucap Citra menenangkan Ibuku.
“Terimakasih nak, kamu sudah mau menerima Biru menjadi sahabatmu.” Ibuku memeluk Citra
Aku hanya bisa tersenyum dan menangis.
Setelah dua minggu aku dirawat, ternyata kondisiku semakin memburuk. Penyakit leukimia benar-benar membuatku akhirnya menyerah dan merenggut semua kesadaran yang kumiliki dalam kondisi koma. Apakah hidupku harus berakhir disini? Dan meninggalkan Ibu seorang diri.
“Nak, sadarlah jangan tinggalkan ibumu.” Ibuku terus saja membisikkan kata itu ditelingaku.
“Biru, jangan tinggalin aku,” ucap Citra padaku.
Aku tidak bisa mendengar mereka, kondisiku sedang koma waktu itu. Aku berharap tuhan masih memberi kesempatan untuk aku bertahan hidup, Namun takdir berkata lain, Aku pun menghembuskan nafas terakhirku. Suasana pun berduka, Ibu dan Citra benar-benar tersiksa atas kepergianku.
Ibu benar-benar merasa sangat kehilangan separuh jiwanya. Dan Citra juga benar-benar merasa kehilangan diriku. Kepergianku memang benar-benar tanpa pamit dan tanpa aba-aba, semua orang yang menyayangiku sangat terpuruk.
Akhirnya, jasad diriku sudah dimakamkan. Ibuku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, begitupun Citra. Dia anak yatim piatu, dan selama ini diurus oleh pamannya. Maka dari itu, Ibuku mengangkat Citra sebagai anaknya. Melihat mereka, aku hanya bisa tersenyum, meskipun mereka tidak bisa melihatku dan aku tidak bisa berada diantara mereka. Merekapun berbahagia tanpa melupakanku.
TAMAT
Seseorang yang rendah hati, tak akan memperlihatkan kelemahan dan tak pernah berkeluh kesah, berpikir selalu positif dan SEBUAH SENYUMAN BIARLAH HANYA KITA dan Allah SWT yang tahu.